Sabtu, 09 November 2024

METODE RECALL 1X24 JAM, EFEKTIF MENILAI STATUS GIZI?

Oleh : Fahyu Widia (Mahasiswa S2 Gizi UNAND 2024) 
Dosen Pembimbing : DR.Helmizar, SKM, M.Biomed 

Tingkat kecukupan zat gizi individu maupun kelompok masyarakat dapat diperoleh melalui survei konsumsi pangan. Penilaian survei konsumsi pangan ada 2 macam, yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Penilaian asupan secara kualitatif, seperti food frequency, dietary history, metode telepon, dan food list. Metode kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. (Supariasa, 2002)  
 
Penilaian asupan secara kuantitatif yaitu dengan food recall dan food record dimaksudkan untuk mengukur jumlah konsumsi makanan setelah satu hari berakhir. Dengan meningkatkan hari pengukuran, perkiraan kuantitatif terhadap kebiasaan asupan makanan dapat diperoleh. Jumlah hari pengukuran, pemilihan dan jarak, tergantung dari tujuan penelitian, perbedaan asupan makanan dan variasi asupan gizi setiap harinya. Penilaian kebiasaan asupan sangatlah penting ketika menilai hubungan antara diet dan parameter biologis. (Supariasa, 2002)  
 
Prinsip dari metode recall 24 jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Pada dasarnya metode ini dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada masa lalu. Wawancara dilakukan sedalam mungkin agar responden dapat mengungkapkan jenis bahan makanan yang dikonsumsinya beberapa hari yang lalu. Wawancara dilakukan oleh petugas yang sudah terlatih dengan menggunakan kuesioner terstruktur.  
 
Agar wawancara berlangsung baik, maka terlebih dahulu perlu disiapkan kuesioner (daftar pertanyaan). Kuisoner tersebut mengarahkan wawancara menurut urutan waktu makan dan pengelompokan bahan makanan. Kuantitas pangan di recall meliputi semua makanan dan mimuman yang dikonsumsi termasuk suplemen vitamin dan mineral. 
      
Hal penting yang perlu diketahui adalah dengan recall 24 jam data yang diperoleh cenderung lebih bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan individu ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat URT (sendok, gelas, piring dan lain-lain) atau ukuran lainnya yang biasa dipergunakan sehari-hari.   
 
Namun, banyak pengalaman membuktikan bahwa dalam melakukan penilaian konsumsi makanan banyak terjadi bias tentang hasil yang diperoleh. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain ketidaksesuaian dalam menggunakan alat ukur, waktu pengumpulan data yang tidak tepat, instrumen tidak sesuai dengan tujuan, ketelitian alat timbang makanan, kemampuan petugas pengumpulan data, daya ingat responden, daftar komposisi makanan yang tidak sesuai dengan makanan yang dikonsumsi responden dan interpretasi hasil yang kurang tepat. (Supariasa, 2002)   
  
Apabila pengukuran hanya dilakukan 1 kali (1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu. Oleh karena itu, recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut. Recall 24 jam perlu dilakukan beberapa hari secara berulang pada individu untuk mendapatkan data individu tersebut. Hal ini juga sejalan dengan Cameron dan Van Staveren (1988) dalam Silvia (2011) menyatakan bahwa recall lebih dari 1 hari meningkatkan nilai korelasi antara asupan zat gizi dengan status gizi dibandingkan dengan recall selama 1 hari.  
 
Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu. (Sanjur,1997 dalam Supariasa dkk. 2016)   
       
Ada berbagai penyimpangan dalam menyimpulkan survei konsumsi pangan dengan lama hari survei konsumsi pangan dikarenakan variasi asupan makanan setiap harinya. Oleh karena itu, recall selama 7 hari sangat ideal untuk mendeskripsikan asupan makan individu.  
 
Recall 24 jam sehari kurang efektif menggambarkan status gizi karena hanya dapat dilakukan untuk studi menilai tingkat rata-rata makanan dan asupan gizi suatu kelompok. Recall lebih dari 1 hari lebih efektif meningkatkan nilai korelasi antara asupan zat gizi dengan status gizi dibandingkan dengan recall selama 1 hari. 

Jumat, 08 November 2024

BLW, Solusi Baru Atasi Masalah Makan Anak

Oleh : Fahyu Widia, S.Tr.Gz Magister Ilmu Gizi Universitas Andalas Anak usia dibawah 5 tahun (balita) dikenal dengan fase periode emas (golden period) dimana perkembangan dan pertumbuhan sangat berlangsung pesat, sehingga kebutuhan gizi anak harus terpenuhi. Pada masa ini, balita sangat rentan mengalami kekurangan gizi salah satunya stunting. Di Indonesia stunting menjadi perhatian yang serius karena menurut Riskesdas 2018, prevalensi stunting walaupun sudah mencapai target yang diharapkan pada RPJMN tahun 2019 yaitu 32%, namun belum mencapai target yang ditetapkan oleh WHO sebesar 20%. Sehingga angka stunting di Provinsi maupun di Kota/Kabupaten juga masih tinggi. Menurut WHO (2013) penyebab terjadinya stunting pada anak salah satunya adalah asupan makanan yang tidak adekuat yang kemudian dibagi lagi menjadi tiga, yaitu makanan dengan kualitas rendah, pemberian makan yang tidak adekuat dan keamanan terhadap makanan dan minuman. Gangguan makan pada anak yang masih banyak dikeluhkan oleh orang tua adalah sikap pilih-pilih makanan atau dikenal dengan picky eater. Menurut Chao 2018, mengenai “Association of Picky Eating with Growth, Nutritional Status, Development, Physical Activity, and Health in Preschool Children” bahwa picky eater merupakan salah satu faktor stunting. Anak dengan picky eater cenderung mengalami kurang gizi dan pendek (stunting) juga memiliki IMT (Indeks Masa Tubuh) rendah (kurang dari persentil 15) dibandingkan dengan anak yang tidak picky eater. (Maelani et al., 2021) Anak dengan picky eaters cenderung akan memiliki asupan sayur dan buah yang rendah, memiliki resiko tinggi terganggunya pertumbuhan dibanding dengan anak yang bukan picky eaters. Perilaku ini apabila tidak diatasi sedini mungkin akan mengakibatkan anak terbiasa dengan pilih-pilih makanan. Walaupun begitu, anak picky eater masih mau mengonsumsi minimal satu macam makanan dari setiap kelompok karbohidrat, protein, sayur, buah dan susu. Misalnya, anak ia masih mengkonsumsi roti atau mie. (Hanindita MH, Widjaja NA, Hidayati SN) Berdasarkan usianya, prevalensi picky eater secara konsisten meningkat seiring dengan peningkatan usia dimulai dari 4-24 bulan, yaitu antara 17-47% pada laki-laki dan 23- 54% pada perempuan. Hasil penelitian di Belanda menunjukkan prevalensi picky eater tertinggi pada usia 3 tahun (27,6%) bila dibandingkan dengan usia 1,5 tahun maupun 6 tahun. Sementara di Indonesia, hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi balita yang mengalami sulit makan sebesar 23,9% yang 45,5% diantaranya adalah balita dengan picky eater. (Cerdasari, C.,Helmyati, S., & Julia) Pemberian ASI eksklusif berlangsung pada fase balita berusia 0-6 bulan, Selanjutnya balita membutuhkan tambahan nutrisi dari makanan pendamping ASI (MP-ASI) karena seiring pertumbuhan dan perkembangannya, kecukupan zat gizi balita tak bisa terpenuhi hanya dari ASI saja. Berdasarkan hal tersebut salah satu cara pencegahan stunting yaitu bayi yang sudah berusia 6 bulan diberi Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Metode MP-ASI terbagi menjadi dua, yaitu MPASI secara konvensional yaitu disuapi dengan sendok (spoon feeding) dan metode Baby Led Weaning (BLW) dimana anak akan makan dengan tangannya sendiri. (Mizawati, 2020; Morison et al., 2016) Metode MP–ASI yang masih jarang digunakan yaitu metode BLW (Baby Led Weaning). Metode MP–ASI BLW dapat menjadi alternatif bagi anak dengan masalah makan yaitu dikarenakan anak dengan malasah makan cenderung ingin mencoba makan sendiri tanpa disuapi. (Maelani et al., 2021) Baby-Led Weaning (BLW) merupakan metode baru dalam memberi makan pada bayi. Metode ini berfokus pada kemampuan anak untuk menyuapi dirinya sendiri. Ini berlaku untuk mengasah keterampilan motorik halus, kasar dan oral motor anak. BLW semakin populer dikalangan orang tua karena bayi diizinkan untuk makan sendiri untuk melakukan pengenalan bertahap makanan bubur. (Cerdasari, C., Helmyati, S & Julia, n.d) BLW dideskripsikan menjadi sebuah metode alternatif dalam memberikan makan pada anak, dimana anak memiliki kebebasan terhadap makanannya. Jenis makanan yang diberikan memiliki ukuran dan kepadatan yang telah disesuaikan dengan kemampuan bayi untuk mengunyah maupun menggenggam makanan. (Maharani & Maulida, 2017) Ciri khas metode BLW ini yaitu memberi kesempatan pada bayi untuk memegang dan mengeksplor makanannya sendiri. Anak akan menentukan sendiri makan dimulai dan berakhir. Makanan dalam bentuk utuh dan bervariasi akan diberikan kepada anak, kemudian biasanya dipilih makanan yang mudah dimakan dalam satu suapan seperti brokoli, wortel dan daging yang telah dipotong kecil. Selanjutnya anak akan memilih, menggenggam, membawa makanan ke mulut dan mengonsumsi makanannya dengan kehendaknya sendiri. (Maghfiroh, n.d.) Seiring bertambahnya usia anak, tekstur makananyang diberikan menjadi lebih kasar seperti makanan yang dicincang atau makanan yang dapat dipegang oleh anak (finger foods). Metode ini cenderung dipilih oleh orang tua dan kapan anak mulai memakan makanan padat. Menurut penelitian Iis Sopiah (2023), setelah dilakukan intervesi berupa pemberian makan dengan metode BLW pada balita picky eater diperoleh anak yang mengalamai picky eater menjadi berkurang dari 21 balita menjadi 6 balita . Metode BLW ini merupakan metode kegiatan makan yang memperkenalkan makanan sehat keluarga yang sering dikonsumsi oleh keluarga dalam bentuk finger food dan memberi kesempatan kepada anak untuk makan sendiri sejak awal proses pengenalan MP-ASI. Ibu dan anak yang menerapkan metode BLW memiliki pengalaman makan yang positif dan kegiatan makan menjadi lebih menyenangkan. Prasyarat bagi pelaksanaan BLW hanyalah kesehatan fisik anak dalam kondisi normal dan kemauan orangtua mendampingi anak mengenali dan menjelajah makananya sendiri. BLW sangat baik diterapkan karena dapat mengurangi biaya berlebih untuk MPASI, efisien dalam hal waktu, serta memberi pengalaman awal yang menyenangkan bagi anak. Banyak orangtua di Indonesia sebenarnya telah menerapkan BLW meskipun belum sempurna sehingga masih diperlukan upaya lebih lanjut untuk mengenalkan tata laksana BLW dengan benar pada masyarakat. Orangtua yang memiliki anak dengan tumbuh kembang normal disarankan untuk dapat mengaplikasikan metode BLW sejak awal masa pengenalan bayi terhadap makanan. Terlebih jika sebelumnya orangtua telah mengawalinya dengan proses Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Metode BLW terbukti efektif dalam mengatasi masalah makan anak salah satunya yaitu picky eater (pilih-pilih makan). Untuk orang tua yang anaknya mengalami picky eater diharapkan dapat menerapkan metode ini dalam memberikan makan kepada anak. Namun, dalam penerapan pemberian metode ini perlu diperhatikan beberapa hal yaitu memberikan jenis dan tekstur makanan yang sesuai takarannya, bentuknya diberikan sesuai usia (ada yang dicincang dan di potong kecil), memperhatikan kualitas makanan agar terpenuhi zat gizinya, mencari tahu adanya alergi makanan tertentu pada anak dan mengawasi anak saat makan untuk menghindari resiko tersedak. Akan tetapi, jika anak mengalami kondisi tertentu, tidak disarankan menerapkan metode BLW, lebih baik tetap menggunakan metode spoon feeding atau jika memungkinkan bisa mengkombinasikan spoon feeding dan BLW agar nutrisi terserap lebih optimal.

Rabu, 15 Januari 2014

SEPUTAR ANEMIA GIZI BESI (AGB)

Menurut definisi, anemia adalah pengurangan jumlah sel darah merah, kuantitas hemoglobin, dan volume pada sel darah merah (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan pencerminan dari dasar perubahan patofisiologis, yang diuraikan oleh anamnesa dan pemikiran fisik yang teliti, serta asi didukung oleh pemeriksaan laboratorium.

Manifestasi klinik

Pada anemia, karena semua sistem organ dapat terlibat, maka dapat menimbulkan manifestasi klinik yang luas. Manifestasi ini bergantung pada:
(1) kecepatan timbulnya anemia
(2) umur individu
(3) mekanisme kompensasinya
(4) tingkat aktivitasnya
(5) keadaan penyakit yang mendasari, dan
(6) parahnya anemia tersebut. 


Karena jumlah efektif sel darah merah berkurang, maka  lebih sedikit O2 yang dikirimkan ke jaringan. Kehilangan darah yang mendadak (30% atau lebih), seperti pada perdarahan, menimbulkan simtomatoogi sekunder hipovolemia dan hipoksemia. Namun pengurangan hebat massa sel darah merah dalam waktu beberapa bulan (walaupun pengurangannya 50%) memungkinkan mekanisme kompensasi tubuh untuk menyesuaikan diri, dan biasanya penderita asimtomatik, kecuali pada kerja jasmani berat.
Mekanisme kompensasi bekerja melalui: (1) peningkatan curah jantung dan pernafasan, karena itu menambah pengiriman O2 ke jaringan-jaringan oleh sel darah merah.
(2) meningkatkan pelepasan O2 oleh hemoglobin
(3) mengembangkan volume plasma dengan menarik cairan dari sela-sela jaringan,  dan
(4) redistribusi aliran darah ke organ-organ vital (deGruchy, 1978 ). 

Etiologi 
1. Karena cacat sel darah merah (SDM) 
               Sel darah merah mempunyai komponen penyusun yang banyak sekali. Tiap-tiap komponen ini bila mengalami cacat atau kelainan, akan menimbulkan masalah bagi SDM sendiri, sehingga sel ini tidak berfungsi sebagai mana mestinya dan dengan cepat mengalami penuaan dan segera dihancurkan. Pada umumnya cacat yang dialami SDM menyangkut senyawa-senyawa protein yang menyusunnya. Oleh karena kelainan ini menyangkut protein, sedangkan sintesis protein dikendalikan oleh gen di DNA.

2. Karena kekurangan zat gizi
         Anemia jenis ini merupakan salah satu anemia yang disebabkan oleh faktor luar tubuh, yaitu kekurangan salah satu zat gizi. Anemia karena kelainan dalam SDM   disebabkan oleh faktor konstitutif yang menyusun sel tersebut. Anemia jenis ini tidak dapat diobati, yang dapat dilakukan adalah hanya memperpanjang usia SDM sehingga mendekati umur yang seharusnya, mengurangi beratnya gejala atau bahkan hanya mengurangi penyulit yang terjadi. 

3. Karena perdarahan
              Kehilangan darah dalam jumlah besar tentu saja akan menyebabkan kurangnya jumlah SDM dalam darah, sehingga terjadi anemia. Anemia karena perdarahan besar  dan dalam waktu singkat ini secara nisbi jarang terjadi. Keadaan ini biasanya terjadi karena kecelakaan dan bahaya yang diakibatkannya langsung disadari. Akibatnya, segala usaha akan dilakukan untuk mencegah perdarahan dan kalau mungkin mengembalikan jumlah darah ke keadaan semula, misalnya dengan tranfusi.
4. Karena otoimun
           Dalam keadaan tertentu, sistem imun tubuh dapat mengenali dan menghancurkan bagian-bagian tubuh yang biasanya tidak dihancurkan. Keadaan ini sebanarnya tidak seharusnya terjadi dalam jumlah besar. Bila hal tersebut terjadi terhadap SDM, umur SDM akan memendek karena dengan cepat dihancurkan oleh sistem imun.

Diagnosis (gejala atau tanda -tanda)
Tanda-tanda yang paling sering  dikaitkan dengan anemia adalah:

  1. kelelahan, lemah, pucat, dan kurang bergairah.
  2. sakit kepala, dan mudah marah.
  3. tidak mampu berkonsentrasi, dan rentan terhadap infeksi.
  4. pada anemia yang kronis menunjukkan bentuk kuku seperti sendok dan rapuh, pecah-pecah pada sudut mulut, lidah lunak dan sulit menelan.
Karena faktor-faktor seperti pigmentasi kulit, suhu dan kedalaman serta distribusi kapiler mempengaruhi warna kulit, maka warna kulit bukan merupakan indeks pucat yang dapat diandalkan. Warna kuku, telapak tangan, dan membran mukosa mulut serta konjungtiva dapat digunakan lebih baik guna menilai kepucatan.
Takikardia dan bising jantung (suara yang disebabkan oleh kecepatan aliran darah yang meningkat) menggambarkan beban kerja dan curah jantung yang meningkat. Angina (sakit dada), khususnya pada penderita yang tua dengan stenosis koroner, dapat diakibatkan karena iskemia miokardium. Pada anemia berat, dapat menimbulkan payah jantung kongesif sebab otot jantung yang kekurangan oksigen tidak dapat menyesuaikan diri dengan beban kerja jantung yang meningkat. Dispnea (kesulitan bernafas), nafas pendek, dan cepat lelah waktu melakukan aktivitas jasmani merupakan manifestasi berkurangnya pengiriman O2. Sakit kepala, pusing, kelemahan dan tinnitus (telinga berdengung) dapat menggambarkan berkurangnya oksigenasi pada susunan saraf pusat. Pada anemia yang berat dapat juga timbul gejala saluran cerna yang umumnya berhubungan dengan keadaan defisiensi. Gejala-gejala ini adalah anoreksia, nausea, konstipasi atau diare dan stomatitis (sariawan lidah dan mulut).
      
 
Klasifikasi anemia
          Pada klasifikasi anemia menurut morfologi, mikro dan makro menunjukkan ukuran sel darah merah sedangkan kromik menunjukkan warnanya. Sudah dikenal tiga klasifikasi besar.
          Yang pertama adalah anemia normositik normokrom. Dimana ukuran dan bentuk sel-sel darah merah normal serta mengandung hemoglobin dalam jumlah yang normal tetapi individu menderita anemia. Penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronik termasuk infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan sumsum, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang.
          Kategori besar yang kedua adalah anemia makrositik normokrom. Makrositik berarti ukuran sel-sel darah merah lebih besar dari normal tetapi normokrom karena konsentrasi hemoglobinnya normal. Hal ini diakibatkan oleh gangguan atau terhentinya sintesis asam nukleat DNA seperti yang ditemukan pada defisiensi B12 dan atau asam folat. Ini dapat juga terjadi pada kemoterapi kanker, sebab agen-agen yang digunakan mengganggu metabolisme sel.
         Kategori anemia ke tiga adalah anemia mikrositik hipokrom. Mikrositik berarti kecil, hipokrom berarti mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari normal. Hal ini umumnya menggambarkan insufisiensi sintesis hem (besi), seperti pada anemia defisiensi besi, keadaan sideroblastik dan kehilangan
darah kronik, atau gangguan sintesis globin, seperti pada talasemia (penyakit hemoglobin abnormal kongenital). 

Anemia dapat juga diklasifikasikan  menurut etiologinya. Penyebab utama yang dipikirkan adalah
 (1) meningkatnya kehilangan sel darah merah dan
 (2) penurunan atau gangguan pembentukan sel.
 

Meningkatnya kehilangan sel darah merah dapat disebabkan oleh perdarahan atau oleh penghancuran sel. Perdarahan dapat disebabkan oleh trauma atau tukak, atau akibat pardarahan kronik karena polip pada kolon, penyakit-penyakit keganasan, hemoriod atau menstruasi. Penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi, dikenal dengan nama hemolisis, terjadi bila gangguan pada sel darah merah itu sendiri yang memperpendek hidupnya atau karena perubahan lingkungan yang mengakibatkan penghancuran sel darah merah. Keadaan dimana sel darah merah itu sendiri terganggu adalah:
1. hemoglobinopati, yaitu hemoglobin abnormal yang diturunkan, misal nya anemia sel sabit                       
2. gangguan sintetis globin misalnya talasemia
3. gangguan membran sel darah merah misalnya sferositosis herediter
4.defisiensi enzim misalnya defisiensi G6PD (glukosa 6-fosfat dehidrogenase).


          Yang disebut diatas adalah gangguan herediter. Namun, hemolisis dapat juga disebabkan oleh gangguan lingkungan sel darah merah yang seringkali memerlukan respon imun. Respon isoimun mengenai berbagai individu dalam spesies yang sama dan diakibatkan oleh tranfusi darah yang tidak cocok. Respon otoimun terdiri dari pembentukan antibodi terhadap sel-sel darah merah itu sendiri. Keadaan yang di namakan anemia hemolitik otoimun dapat timbul tanpa sebab yang diketahui setelah pemberian suatu obat tertentu seperti alfa-metildopa, kinin, sulfonamida, L-dopa atau pada penyakit-penyakit seperti limfoma, leukemia limfositik kronik, lupus eritematosus, artritis reumatorid dan infeksi  virus. Anemia hemolitik otoimun selanjutnya diklasifikasikan menurut suhu dimana antibodi bereaksi dengan sel-sel darah merah –antibodi tipe panas atau antibodi tipe dingin.
          Malaria adalah penyakit parasit yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang terinfeksi. Penyakit ini akan menimbulkan anemia hemolitik berat ketika sel darah merah diinfestasi oleh parasit plasmodium, pada keadaan ini terjadi kerusakan pada sel darah merah, dimana permukaan sel darah merah tidak teratur. Sel darah merah yang terkena akan segera dikeluarkan dari peredaran darah oleh limpa(Beutler, 1983)
           Hipersplenisme (pembesaran limpa, pansitopenia, dan sumsum tulang hiperselular atau normal) dapat juga menyebabkan hemolisis akibat penjeratan dan penghancuran sel darah merah. Luka bakar yang berat khususnya jika kapiler pecah dapat juga mengakibatkan hemolisis.
Klasifikasi etiologi utama yang kedua adalah pembentukan sel darah merah yang berkurang atau terganggu (diseritropoiesis). Setiap keadaan yang mempengaruhi fungsi sumsum tulang dimasukkan dalam kategori ini. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah:
(1) keganasan yang tersebar seperti kanker payudara, leukimia dan multipel mieloma; obat dan zat kimia toksik; dan penyinaran dengan radiasi dan
(2) penyakit-penyakit menahun yang melibatkan ginjal dan hati, penyakit-penyakit infeksi dan defiensi endokrin. 


Kekurangan vitamin penting seperti vitamin B12, asam folat, vitamin C dan besi dapat mengakibatkan pembentukan sel darah merah tidak efektif sehingga menimbulkan anemia. Untuk menegakkan diagnosis anemia harus digabungkan pertimbangan morfologis dan etiologi. 


Anemia aplastik           
Anemia aplastik adalah suatu gangguan pada sel-sel induk disumsum tulang yang dapat menimbulkan kematian, pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang dihasilkan tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia yaitu kekurangan  sel darah merah, sel darah putih dan trombosit. Secara morfologis sel-sel darah merah terlihat normositik dan normokrom, hitung retikulosit rendah atau hilang dan biopsi sumsum tulang menunjukkan suatu keadaan yang disebut “pungsi kering” dengan hipoplasia yang nyata dan terjadi pergantian dengan jaringan lemak. Langkah-langkah pengobatan terdiri dari mengidentifikasi dan menghilangkan agen penyebab. Namun pada beberapa keadaan tidak dapat ditemukan agen penyebabnya dan keadaan ini disebut idiopatik. Beberapa keadaan seperti ini diduga merupakan keadaan imunologis.
 
Gejala -gejala anemia aplastik
Kompleks gejala anemia aplastik berkaitan dengan pansitopenia. Gejala-gejala lain yang berkaitan dengan anemia adalah defisiensi trombosit dan sel darah putih.
Defisiensi trombosit dapat mengakibatkan:
(1)ekimosis dan ptekie (perdarahan dalam kulit)
(2)epistaksis (perdarahan hidung)
(3)perdarahan saluran cerna
(4)perdarahan saluran kemih
(5)perdarahan susunan saraf pusat. 


Defisiensi sel darah putih mengakibatkan lebih mudahnya terkena infeksi. Aplasia berat disertai pengurangan atau tidak adanya retikulosit jumlah granulosit yang kurang dari 500/mm3 dan jumlah trombosit yang kurang dari 20.000 dapat mengakibatkan kematian dan infeksi dan/atau perdarahan dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Namun penderita yang lebih ringan dapat hidup bertahun- tahun. Pengobatan terutama dipusatkan pada perawatan suportif sampai terjadi penyembuhan sumsum tulang. Karena infeksi dan perdarahan yang disebabkan oleh defisiensi sel lain merupakan penyebab utama kematian maka penting untuk mencegah perdarahan dan infeksi.



Pencegahan anemia aplastik dan terapi yang di lakukan              
            Tindakan pencegahan dapat mencakup lingkungan yang dilindungi (ruangan dengan aliran udara yang mendatar atau tempat yang nyaman) dan higiene yang baik. Pada pendarahan dan/atau infeksi perlu dilakukan terapi komponen darah yang bijaksana, yaitu sel darah merah, granulosit dan trombosit dan antibiotik. Agen-agen perangsang sumsum tulang seperti androgen diduga menimbulkan eritropoiesis, tetapi efisiensinya tidak menentu. Penderita anemia aplastik kronik dipertahankan pada hemoglobin (Hb) antara 8 dan 9 g dengan tranfusi darah yang periodik.
             Penderita anemia aplastik berusia muda yang terjadi secara sekunder akibat kerusakan sel induk memberi respon yang baik terhadap tranplantasi sumsum tulang dari donor yang cocok (saudara kandung dengan antigen leukosit manusia [HLA] yang cocok). Pada kasus-kasus yang  dianggap terjadi reaksi imunologis maka digunakan globulin antitimosit (ATG) yang mengandung antibodi untuk melawan sel T manusia untuk mendapatkan remisi sebagian. Terapi semacam ini dianjurkan untuk penderita yang agak tua atau untuk penderita yang tidak mempunyai saudara kandung yang cocok. 

Anemia defisiensi besi            
Anemia defisiensi besi secara morfologis diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik hipokrom disertai penurunan kuantitatif pada sintetis hemoglobin.Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia di dunia. Khususnya terjadi pada wanita usia subur, sekunder karena kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan besi selama hamil.
 Penyebab lain defisiensi besi adalah:
(1)asupan besi yang tidak cukup misalnya pada bayi yang diberi makan susu belaka  sampai usia antara 12-24 bulan dan pada individu tertentu yang hanya memakan sayur- sayuran saja;
(2)gangguan absorpsi seperti setelah gastrektomi dan
(3)kehilangan darah yang menetap seperti pada perdarahan saluran cerna yang lambat karena polip, neoplasma, gastritis varises esophagus, makan aspirin dan hemoroid. 

Dalam keadaan normal tubuh orang dewasa rata-rata mengandung 3 sampai 5 g besi, bergantung pada jenis kelamin dan besar tubuhnya. Hampir dua pertiga besi terdapat dalam hemoglobin yang dilepas pada proses penuaan serta kematian sel dan diangkut melalui transferin plasma ke sumsum tulang untuk eritropoiesis. Dengan kekecualian dalam jumlah yang kecil dalam mioglobin (otot) dan dalam enzim-enzim hem, sepertiga sisanya disimpan dalam hati, limpa dan dalam sumsum tulang sebagai feritin dan sebagai hemosiderin untuk kebutuhan-kebutuhan lebih lanjut.


Patofisiologi anemia defisiensi besi  

Walaupun dalam diet rata-rata terdapat 10 - 20 mg besi, hanya sampai 5% - 10% (1 - 2 mg) yang sebenarnya sampai diabsorpsi. Pada persediaan besi berkurang maka besi dari diet tersebut diserap lebih banyak. Besi yang dimakan diubah menjadi besi fero dalam lambung dan duodenum; penyerapan besi terjadi pada duodenum dan jejunum proksimal. Kemudian besi diangkut oleh transferin plasma ke sumsum tulang untuk sintesis hemoglobin atau ke tempat penyimpanan di jaringan.

Tanda dan gejala anemia pada penderita defisiensi besi            
             Setiap milliliter darah mengandung 0,5 mg besi. Kehilangan besi umumnya sedikit sekali, dari 0,5 sampai 1 mg/hari. Namun wanita yang mengalami menstruasi kehilangan tambahan 15 sampai 28 mg/bulan. Walaupun kehilangan darah karena menstruasi berhenti selama hamil, kebutuhan besi harian tetap meningkat, hal ini terjadi oleh karena volume darah ibu selama hamil meningkat, pembentukan plasenta, tali pusat dan fetus, serta mengimbangi darah yang hilang pada waktu melahirkan.
           Selain tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh anemia, penderita defisiensi besi yang berat (besi plasma lebih kecil dari 40 mg/ 100 ml;Hb 6 sampai 7 g/100 ml)mempunyai rambut yang rapuh dan halus serta kuku tipis, rata, mudah patah dan sebenarnya berbentuk seperti sendok (koilonikia). Selain itu atropi papilla lidah mengakibatkan lidah tampak pucat, licin, mengkilat, merah daging, dan meradang dan sakit. Dapat juga timbul stomatitis angularis, pecah-pecah dengan kemerahan dan rasa sakit di sudut-sudut mulut.
Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah merah normal atau hampir normal dan kadar hemoglobin berkurang. Pada sediaan hapus darah perifer, eritrosit mikrositik dan hipokrom disertain poikilositosis dan aniositosis. Jumlah retikulosit mungkin normal atau berkurang. Kadar besi berkurang walaupun kapasitas meningkat besi serum meningkat.

Pengobatan anemia pada penderita defisiensi besi
          Pengobatan defisiensi besi mengharuskan identifikasi dan menemukan penyebab dasar anemia. Pembedahan mungkin diperlukan untuk menghambat perdarahan aktif yang diakibatkan oleh polip, tukak, keganasan dan hemoroid; perubahan diet mungkin diperlukan untuk bayi yang hanya diberi makan susu atau individu dengan idiosinkrasi makanan atau yang menggunakan aspirin dalam dosis besar. Walaupun modifikasi diet dapat menambah besi yang tersedia (misalnya hati, masih dibutuhkan suplemen besi untuk meningkatkan hemoglobin dan mengembalikan persediaan besi. Besi tersedia dalam bentuk parenteral dan oral. Sebagian penderita memberi respon yang baik terhadap senyawa-senyawa oral seperti ferosulfat. Preparat besi parenteral digunakan secara sangat selektif, sebab harganya mahal dan mempunyai insidens besar terjadi reaksi yang merugikan. 


Anemia megaloblastik             
Anemia megaloblastik diklasifikasikan menurut morfologinya sebagai anemia makrositik normokrom.

Sebab-sebab atau gejala anemia megaloblastik
Anemia megaloblastik sering disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 dan asam folat yang mengakibatkan sintesis DNA terganggu. Defisiensi ini mungkin sekunder karena malnutrisi, malabsorpsi, kekurangan faktor intrinsik  (seperti terlihat pada anemia pernisiosa dan postgastrekomi) infestasi parasit, penyakit usus dan keganasan, serta agen kemoterapeutik. Individu dengan infeksi cacing pita (dengan Diphyllobothrium latum) akibat makan ikan segar yang terinfeksi, cacing pita berkompetisi dengan hospes dalam mendapatkan vitamin B12 dari makanan, yang mengakibatkan anemia megaloblastik (Beck, 1983). 


Walaupun anemia pernisiosa merupakan prototip dari anemia megaloblastik defisiensi folat lebih sering ditemukan dalam praktek klinik. Anemia megaloblastik sering kali terlihat pada orang tua dengan malnutrisi, pecandu alkoholatau pada remaja dan pada kehamilan dimana terjadi peningkatan kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan fetus dan laktasi. Kebutuhan ini juga meningkat pada anemia hemolitik, keganasan dan hipertiroidisme. Penyakit celiac dan sariawan tropik juga menyebabkan malabsorpsi dan penggunaan obat-obat yang bekerja sebagai antagonis asam folat juga mempengaruhi.

Pencegahan anemia pada penderita anemia megaloblastik            
Kebutuhan minimal folat setiap hari kira-kira 50 mg mudah diperoleh dari diet rata-rata. Sumber yang paling melimpah adalah daging merah (misalnya hati dan ginjal) dan sayuran berdaun hijau yang segar. Tetapi cara menyiapkan makanan yang benar juga diperlukan untuk menjamin jumlah gizi yang adekuat. Misalnya 50% sampai 90% folat dapat hilang pada cara memasak yang memakai banyak air. Folat diabsorpsi dari duodenum dan jejunum bagian atas, terikat pada protein plasma secara lemah dan disimpan dalam hati. Tanpa adanya asupan folat persediaan folat biasanya akan habis kira-kira dalam waktu 4 bulan. Selain gejala-gejala anemia yang sudah dijelaskan penderita anemia megaloblastik sekunder karena defisiensi folat dapat tampak seperti malnutrisi dan mengalami glositis berat (radang lidah disertai rasa sakit), diare dan kehilangan nafsu makan. Kadar folat serum juga menurun (<4 mg/ml).

Pengobatan anemia pada penderita anemia megaloblastik.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya pengobatan bergantung pada identifikasi dan menghilangkan penyebab dasarnya. Tindakan ini adalah memperbaiki defisiensi diet dan terapi pengganti dengan asam folat atau dengan vitamin B12. penderita kecanduan alkohol yang dirawat di rumah sakit sering memberi respon “spontan” bila di berikan diet seimbang.

Daftar Pustaka
 1.   Sadikin Muhamad, 2002, Biokimia Darah, widia medika, jakarta
 2.   http://www.majalah-farmacia.com
 3.   http://www.pediatrik.com
 4.   Sylvia A. Price Lorraine M. Wilson, 2002, Patofisiologi, Jilid1, EGC, Jakarta

Selasa, 07 Januari 2014

PENGARUH PENYULUHAN GIZI TERHADAP PERILAKU IBU DALAM PENYEDIAAN MENU SEIMBANG UNTUK BALITA

Menu seimbang sangat penting terutama pada awal pertumbuhan balita.
Pengetahuan ibu yang rendah tentang penyediaan menu seimbang untuk balita dapat berpengaruh terhadap pemberian makanan anak balita.
 
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyuluhan gizi terhadap perilaku ibu dalam penyediaan menu seimbang untuk balita di Desa Ramunia-I Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang tahun 2010. Jenis penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan rancangan one pre- and post-test group. Perlakuan adalah penyuluhan gizi berupa ceramah, pembagian leaflet, dan demo menu seimbang untuk balita. Pengukuran dilakukan sebanyak 2 kali yaitu sebelum dan sesudah penyuluhan diberikan. Jumlah sampel adalah sebanyak 42 orang ibu. Analisa hasil dilakukan dengan menggunakan paired sample t-test.

Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan ibu sebelum penyuluhan gizi tentang penyediaan menu seimbang untuk balita adalah cukup (78,57%), setelah penyuluhan gizi pengetahuan ibu menjadi baik (90,48%). Sikap ibu sebelum penyuluhan gizi adalah cukup (71,43%), sesudah penyuluhan gizi sikap ibu menjadi baik (71,43%). Tindakan ibu sebelum penyuluhan gizi yang baik sebanyak 14,29%, sesudah penyuluhan gizi menjadi 42,86%. Hasil uji menunjukkan ada perbedaan sesudah perlakuan, yaitu pengetahuan dengan nilai t=-24,065 dan p=0,000; sikap dengan nilai t=-15,829 dan p=0,000; dan tindakan dengan nilai t=-3,629 dan p=0,001.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa ada pengaruh penyuluhan giziterhadap perilaku ibu dalam penyediaan menu seimbang, yaitu terjadi peningkatan pengetahuan, sikap dan tindakan dalam penyediaan menu seimbang untuk balita. Saran dari penelitian ini adalah kepada petugas promosi kesehatan dapat
memberikan penyuluhan berupa ceramah, pembagian leaflet, dan demo menu seimbang untuk balita sebagai salah satu metode untuk memberitahukan informasi baru dan juga untuk mempromosikan kesehatan balita kepada para ibu.

Untuk mendapatkan naskah aslinya, silahkan download disini.

ANEMIA PADA REMAJA PUTRI

Defisiensi zat besi merupakan defisiensi zat gizi mikro yang paling umum terjadi di dunia dan merupakan masalah gizi kurang yang banyak diderita oleh remaja (Ruel 2001). Defisiensi zat besi merupakan hasil jangka panjang dari keseimbangan negatif zat besi dan tingkatan yang paling parah dari defisiensi zat besi disebut dengan anemia (WHO 2001). Menurut Soekirman (2000), saat ini diperkirakan lebih kurang 2.1 milyar orang di dunia menderita anemia gizi besi termasuk pada tingkat berat dan pada negara berkembang terdapat prevalensi anemia pada remaja putri sebesar 17-89 persen (Ruel 2001). Hasil SKRT 2001 menunjukkan bahwa 30 persen remaja wanita (10-19 tahun) menderita anemia (konsentrasi hemoglobin<120 g/l). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dari hasil studi lainnya, yang mengindikasikan anemia merupakan masalah kesehatan di Indonesia (Permaesih dan Herman 2005).

Prevalensi anemia yang cukup besar pada remaja putri ini karena pada masa remaja terjadi pertumbuhan yang cepat (growth spurt). Selama periode remaja, massa tulang meningkat dan terjadi remodeling tulang; jaringan lunak,organ-organ, dan bahkan massa sel darah merah meningkat dalam hal ukuran (DiMeglio 2000). Pertumbuhan tersebut menyebabkan kebutuhan zat besi meningkat secara dramatis dan pada saat remaja inilah kebutuhan zat gizi mencapai titik tertinggi. Menurut FAO/WHO (2001), kebutuhan zat besi yang diperlukan remaja putri untuk pertumbuhan berbeda antara early adolescence dan middle adolescence. Kebutuhan zat besi yang lebih besar diperlukan oleh early adolescence karena pada usia tersebut growth spurt lebih intens terjadi dibandingkan middle adolescence, sehingga apabila terjadi kekurangan zat gizi makro dan mikro pada usia remaja baik early adolescence maupun middle adolescence dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual (Beard 2000).
 
Untuk mendapatkan naskah aslinya, silahkan download disini.